Friday, January 10, 2014

Makalah Filsafat - Pemikiran Rene Descartes

Pemikiran Filsuf Rene Descartes

Pemikiran RENE DESCARTES 

PELETAK DASAR PEMIKIRAN FILSAFAT BARAT MODERN

A.    Biografi Rene Descartes
Di desa La Haye tahun 1596 lahir Rene Descartes (1596-1650), filosof, ilmuwan, matematikus Perancis yang tersohor. Waktu mudanya dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Begitu umur dua puluh dia dapat gelar ahli hukum dari Universitas Poitiers walau tidak pernah mempraktekkan ilmunya samasekali. Meskipun Descartes peroleh pendidikan baik, tetapi dia yakin betul tak ada ilmu apa pun yang bisa dipercaya tanpa matematik. Karena itu, bukannya dia meneruskan pendidikan formalnya, melainkan ambil keputusan kelana keliling Eropa dan melihat dunia dengan mata kepala sendiri. Berkat dasarnya berasal dari keluarga berada, mungkinlah dia mengembara kian kemari dengan leluasa dan longgar. Tak ada persoalan duit.

B.     Latar Belakang
  1. Pada akhir abad pertengahan ada dominasi nominalisme dan skeptisisme (semua konsep filosofis hanya label/nama yang beragam atas realitas dan seringkali tidak sama dengan realitas: William Occham). Skeptisme dari Montaigne. Skpetisisme ini melahirkan kritik Martin Luther bahwa “dogmatisme itu berbahaya, karena hanya akan melahirkan setan.” Karena itu, menurutnya satau-satunya kearifan adalah jangan bersikap yakin pada apa pun dan ragukan segala hal.
  2. Pada saat itu, ilmu-ilmu fisika menghasilkan banyak hal baru yang konkret dan pasti (teleskop, termometer, mikroskop, dll). Galilleo Galilei juga memunculkan teori “heliosentrisme” (matahari adalah pusat segala planet) yang bertentangan dengan pandangan Gereja pada waktu itu bahwa “bumi” adalah pusat segala sesuatu. Semua kenyataan ini, mau menunjukkan bahwa seakan-akan dunia Fisika lebih mengandung kepastian (matematis dan geometris).
  3. Descartes (1596-1650) berminat sangat kuat pada Matematika. Ia mengingat pesan Pastor pembimbingnya: “Matematika adalah Ratu segala ilmu.”
  4. Descartes sempat menghayalkan sistem Filsafat yang kokoh: “mathesis iniversalis” (sebuah sistem pemikiran yang kuat dan berlandaskan Matematika).
C.    Gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikirannya
  1. Sebagai titik tolak pemikirannya adalah keraguan: segala hal harus kita renungkan dan akhirnya bisa memunculkan kepastian dari hal itu. Sebab yang tinggal adalah “saya yang ragu-ragu.” Inilah kepastian pertama. “Saya ragu-ragu, karena saya berpikir.” Saya yang berpikir ini adalah kepastian kedua. Akhirnya, Cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Semua ini disebutnya sebagai keraguan metodis (dubium methodicum). Pola berpikirnya deduktif atau mengambil kesimpulan mengenai realitas dari konsep-konsep.
  2. Realitas terdiri dari: 1)res cogitans (realitas pemikiran), 2) res extensa (realitas material), dan 3) Tuhan (penjamin pengetahuan). Yang terpenting oleh Descartes adalah res cogintans. Karena ide-ide pengetahuan tidak didapat dari luar pemikiran kita, melainkan dari dalam diri kita sendiri. Mengapa demikian? Karena baginya, sensasi indrawi bisa mengecoh dan tidak dapat dipercaya. Ide-ide pengetahuan sudah ada sejak kita lahir (idea inata). Ide-ide ini muncul kembali secara intuitif dan secara deduktif. Idea-idea ini sebetulnya berasal dari Tuhan secara langsung/ lalu, bagaimana kita tahu ide-ide dan pengetahuan itu dari Tuhan? Caranya: 1) kita tahu, kita makhluk terbatas, tetapi mengapa kita bisa tahu mengenai hal-hal yang takterbatas? Karena itu, pengetahuan semacam ini pastilah berasal dari yang takterbatas itu sendiri yakni: Tuhan; 2) kita tahu kita adalah makhluk taksempurna, tetapi mengapa kita bisa tahu mengenai hal-hal yang sempurna. Karena itu, pengetahuan semacam ini pastilah berasal dari yang sempurna yakni: Tuhan. Akan tetapi, hal ini hanyalah cara kita memahami dengan mempertentangkan yang terbatas dengan yang takterbatas, yang sempurna dengan yang tidak sempurna, dll. Sebenarnya, realitas diri kita yang sebenarnya kita tidak ketahui dengan baik.
  3. Descartes melahirkan dulisme kartesian antara tubuh dan jiwa dimana jiwa manusia seperti hantu dalam sebuah mesin.
D.    Dampak Pemikiran Descartes
  1. Sejak Descartes, ada tendensi bahwa Filsafat cenderung merupakan koherensi (kelogisan) atau soal clara et distincta (terang dan jelas). Akan tetapi, persoalannya adalah hidup seringkali tidak begitu jelas atau ambigu namun real. dengan kata lain, filsafat bisa bagus tetapi tidak realistis.
  2. Sejak saat itu, “mengerti” sama dengan menganalisis. Menganalisis pun berarti membuat konstruksi matematis dan mekanis. Akibatnya, dalam zaman modern, satu-satunya penjelasan yang sahih mengenai realitas adalah penjelasan mekanis-matematis (ilmiah). Lebih lanjut, dalam tendensi (kecenderungan) ini, ilmu-ilmu sosial atau human science haruslah matematis agar menjadi ilmiah. Sehingga IPTEK pun cendrung inhuman (tidak manusiawi).
  3. Ide tentang Tuhan dalam Descartes hanyalah Penjamin Kebenaran. Hal ini membawa tendensi gagasan “Deisme” (Tuhan hanya menciptakan dunia dan isinya, kemudian Ia tidak berbuat apa-apa lagi alias “nganggur”). Akibatnya, terjadi pengurangan suasana tanggung jawab intelektual. Di sisi lain, justru menyuburkan spekulasi rasional individual (metafisika) dengan koherensi logis.
  4. Gagasan Descates bahwa ide hanya muncul dari penalaran (reason), sedangkan sensasi inderawi tidak bisa dipercaya dan tidak bisa melahirkan gagasan, justru menimbulkan pertentangan abadi atau dualisme tubuh dan jiwa (body and mind).
  5. Sejak Descartes, “saya” identik dengan “pikiran” (res cogitans). Seakan-akan yang patut dihargai sebagai the real subject adalah pikiran semata-mata. Akibatnya, alam benda atau material hanyalah objek semata. Tubuh dan bahkan alam semesta hanya menjadi sebuah mesin semata. Yang terjadi adalah desakralisasi atas tubuh dan alam semesta (tidak suci dan tidak penting). Tubuh dan alam adalah wilayah Fisika dan IPTEK. Pikiran masuk dalam wilayah Metafisika. Maka, sah saja, jika segala sistem nilai kurang begitu diperhatikan lagi di era modern. Sejak Descartes, perasaan adalah ide-ide yang kacau (confused ideas) yang masuk dalam res cogitans. Pola berpikir subjek-objek (dikotomis) inilah yang melahirkan krisis-krisis ekologis (hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya) dan krisis humanisasi / dehumanisasi melalui IPTEK.
  6. Ketika “saya” hanya sama dengan pikiran, maka yang terjadi adalah desakralisasi tubuh dan alam. Maka pembantaian terhadap manusia (mutilasi, genocide,dll) bukan lagi menjadi hal yang luar biasa. Mengapa? Karena tubuh manusia hanya menjadi material belaka.
  7. Lama  kelamaan Rasionalisme Descartesian akhirnya (abad ke-20) berujung pada irasionalisme modern (Horkheimer). Artinya, hidup, pikiran, selera, perilaku dan gaya hidup sedemikian dikuasai dan dikendalikan oleh mekanisme pasar yang konsumeristis. Orang membeli sesuatu karena “merk-nya” bukan karena kualitasnya. Maka, kelak di akhir abad ke-20, dan awal abad ke-21, Filsafat didorong untuk mengubah haluan ke arah yang baru. Yang baru di sini, salah satunya dibahas dalam Filsafat Postmodernisme secara khusus yakni: tubuh, rasa dan intuisi. Imajinasi juga mendapat tempat yang penting dalam Filsafat Postmodernisme.

Sumber:
http://filsafat.kompasiana.com/2011/06/04/seri-filsafat-rene-descartes-dupperon-peletak-dasar-pemikiran-filsafat-barat-modern/